Selasa, 29 Mei 2012

PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN REMAJA

I.       PENDAHULUAN
Masa remaja adalah masa yang seolah-olah tidak memiliki tempat yang jelas, ia tidak termasuk golongan anak juga tidak termasuk golongan dewasa. Karena remaja belumlah mampu menguasai fungsi fisik maupun psikisnya, oleh karena itu masa remaja biasa kita dengar sebagai masa transisi atau masa peralihan.
Pada sejarahnya posisi remaja berada dalam tempat marginal (Lewin, 1939). Karena untuk dikatakan dewasa membutuhkan banyak persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa dikategorikann dewasa, sehingga remaja lebih mudah dekategorikan sebagai anak daripada dewasa. Kemudian pada abad ke-18 barulah masa remaja dipandang sebagai periode tertentu yang lepas dari periode kanak-kanak. Batasan usia remaja  berkisar antara usia 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun msa remaja awal, 15-18 tahun remaja pertengahan, 18-21 tahun masa remaja ahir. [1]
Dalam usia remaja ia pun memiliki kebutuhan yang sama seperti kebutuhan manusia pada umumnya seperti makan, minum, pakaian atau kenikmatan lainnya. Akan tetapi kebutuhan manusia  tidak terbatas pada hal tersebut saja melainkan manusia memiliki keinginan dan kebutuhan yang bersifat universal yaitu kebutuhan untuk mencintai dan dicintai Tuhan, sehingga agama akan dijadikan saraana untukn pemenuhan kebutuhan tersebut. Oleh karena itu dalam makalah ini akan kami bahas terkait tentang bagaimana perkembangan keagamaan ramaja.
II.    RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimanakah Teori Tentang Sumber kejiwaan Agama?
2.      Bagaimanakah Perkembangan jiwa keagamaan pada remaja?

III. PEMBAHASAN
A.     Teori Tentang Sumber Kejiwaan Agama
Terdapat beberapa teori yang bisa dijadikan acuan dari manakah apakah yang menjadi sumber keagamaan itu.  Di antaranya  adalah:
1.      Teori monistik
Teori ini menyatakan bahwa  yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah satu sumber kejiwaan. Dari munculah beberapa pendapat yang dikemu-kakan oleh para ahli yaitu:
a.       Thomas Van Aquino. Menurutnya sumber kejiwaan agama adalah berpikir.
b.      Fredrick Hegel. Ia berpendapat  agama adalah pengetahuan yang sungguh-sungguh benar dan tempat kebenaran abadi berdasarkan hal orak tingkah klaku dengan pikiran.
c.       Fredrick Schleimacher. Ia berpendapat bahwa suber keagamaan adalah rasa ketergantungan yang mutlak  (sense of depend)ز[2]
d.      Rudolft Otto. Menurut tokoh ini sumber kejiwaan agama adalahseeseorang  rasa kagum yang berasala dari  The Wholly Other  (yang sama seakali lain).
e.       Sigmund Freud. Menurutnya libido sexuil adalah unsur kejiwaaan yang menjadi sumber kejiwaan aagama. Dan berdasarkan libido ini timbullah ide tentang ketuhanan dan upacara keagamaan setelah melalui proses Oedipoes Complex and Father Image.[3]
f.        William Mac Dougall. Menurutnnya sumber kejiwaan agama  merupakan kumpulan  dari beberapa instink.
            1.2. Teori Fakulti
Teori ini berpendapat bahwa tingkah laku manusia iitu tidak bersumber pada suatu faktor yang tunggal  tetapi terdiri atas beberapa unsur, antara lain yang diianggap memegang peranan penting adalah fungsi cipta (reason), rasa (emotion), karsa (will).
1.      Cipta, cipta merupakan fungsi intelaktual jiwa manusia. Cipta berperan untuk menentukan benar atau tidaknya ajaran suatu agama berdasarkan pertimbangan intelek seseorang.
2.       Rasa, rasa adalah suatu tenaga dalam diri manusia yang banyak berperan dalam membentuk motivasi dalam corak tingkah laku seserorang. Rasa menimbulkan sikap batin yang seimbang dan positif dalam menghayati kebenaran ajaran agama.
3.      Karsa, karsa merupakan fungsi eksekutif dalam diri manusia. Karsa berfungsi mendorong pelaksanaan doktrin serta ajaran agama berdasarkan fungsi kejiwaan[4].
Beberapa Pemuka Teori Fakulti Yaitu:
a.       G.M. Straton
G.M. Straton mengemukakan teori konflik. Ia mengatakan, bahwa yang menjadi sumber keagamaan dalam diri manusia adalah karena adanya konflik dalam kejiiwaan manusia.
b.      Zakiah Daradjat
Zakiyah daradjat mengatakan bahwa pada diri manusia itu terdapat kebutuhan pokok. Unsur-unsur kebutuhan  yang dikemukakan yaitu:
1.      Kebutuhan rasa akan kasih sayang.
2.      Kebutuhan akan rasa aman.
3.      Kebutuhan rasa akan harga diri.
4.      Kebutuhan akan rasa bebas.
5.      Kebutuhan akan rasa sukses.
6.      Kebutuhan rasa ingin tahu atau mengenal.
Selanjutnya dari gabungan keenam itulah yang menyebabkan manusia  membutuhkan agama, karena melalui agama itulah kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat tersalurkan.
c.       W.H. Thomas
Menurut W.H. Thomas yang menjadi sumber kejiwaan agama adalah adanya empat macamkeinginan dasar yang ada dalam jiwa manusia yaitu:
1.      Keinginan untuk keselamatan (security)
2.      Keinginan untuk mendapat penghargaan (rekongnation)
3.      Keinginan untuk ditanggapi (response)
4.      Keingiinan akan pengetahuan atau pengalaman baru (new experient)

B.       Perkembangan Jiwa Keagamaan Remaja
                 Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani remaja, maka agama pada para remaja dipengaruhi oleh masa Juvenilitas, pubertas, dan nubilitas. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agam dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut. Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W.Starbuck adalah:
a.     Pertumbuhan Pikiran dan Mental
                 Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sifat kritis terhadap ajaran agam mulai timbul. Selain masalah agama merkapun sudah tertrik dari masalah kebudayaan, sosial, ekonomi, dan norma-norma kehidupan lainnya.
            Dalam penelitian Allport, Gillesphy, dan young menyatakan bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservativ lebih banyak ber pengaruh bagi para remaja untuk tetap taat kepada ajaran agamanya. Namun sebaliknya agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatis dan agak liberal akan nudah merangsang pemiikiran pengembangan pikiran dan mental para remaja sehingga mereka banyak meninggalkan agamanya[5].
b.    Perkembangan Perasaan
            Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis,  dan estesis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Masa remaja adalah masa kematangan seksual , yang didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan super, dan remaja adalah masa-masa yang mudah untuk mesuk dan terjerumus ke arah  tindakan seksual yang negatif.
            Dalam penyelidikan yan dilakukan oleh Dr. Kinsey pada tahun 1950anmengungkapkan bahwa 90% dari pemuda Amerika telah mengenal masturbasi, onani, dan homo seksual.
c.     Pertimbangan Sosial
            Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi akan kepentingan materi, maka para remaja cenderung sifatnya matrealistis.
            Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1789 remaja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukan bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri dan masalah kesenangan pribadi lainnya. Sedangkan masalah masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, dan masalah sosial 5,8%[6].
d.    Perkembangan Moral
            Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1.    Self-diretive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.    Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.    Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama
4.    Unnajusted, belom mmeyakini akan keberadaan ajaran agama dan moral.
5.    Deviant, menolak dasar dan hukum keagamaan serta tatanan moral keagamaan.
e.     Sikap dan Minat
            Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya). Sebagian besar remaja lebih berminat terhadap masalah ekonomi, keuangan, kesuksesan untuk dirinya. Dibandingkan minat mereka terhadap masalah ideal, keagamaan dan sosial.


f.      Ibadah
            Pandangan para remaja terhadap ajaran agama (ibadah), mereka hanya mengnggap ibadah adalah sebuah media untuk bermeditasi dan sedikit remaja yang mengatakan bahwasanya ibadah adalah alat untuk berkomunikasi terhadap tuhan. Hal tersebut terbukti karena lebih banyaknya remaja yang tidak melaksanakan ibadah dibandingkan remaja yang melaksanakan ibadah secara benar.

IV.  KESIMPULAN
      Dari pemaparan materi yang kami susun maka dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki kebutuhan universal untuk dipenuhi melalui agama. Dan apakah yang menjadi sumber kejiwaan agam tersebut adalah satu sumber kejiwaan dan juga bisa dilihat dari beberapa unsur yang bukan merupakan satu faktor tunggal, diantaranya yaitu cipta, rasa, karsa manusia itu sendiri. Kemudian perkembangan agama pada remaja ditandai oleh beberapa faktor yaitu :
1.      Pertumbuhan fikiran dan mental
2.      Perkembangan perasaan
3.      Pertimbangan sosial
4.      Pertkembangan moral
5.      Sikap dan minat
6.      Ibadah
Kemudian tingkat dan keyakinan dan ketaatan para remaja sebenarnya tergantung dari kemampuan mereka menyelesaikan keraguan dan konfli batiun yang terjadi dalam diri. 
V.     PENUTUP
        Demikianlah makalah ini kami susun, kami sadar dalam makalah ini masih banyak keslahan dan kekurangan dari segi materi maupun penyampaian. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangatlah kamu harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
H. Thoulsen, Robert. Pengantar Psikologi Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1992
Prof. Dr. H. Jalaludin. PSIKOLOGI AGAMA, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
Prof. Dr. Rahyu, Siti Haditono. Psikologi Perkembangan, Yogyakarta: GAJAH MADA UNIVERSITY PRESS, 2006
Rakhamat, Jalaludi. Psikologi Agama Sebuah Pengantar,Bandung: PT Mizan Pustaka, 2003



[1] Prof.  Dr. F. J. Siti  Rahayu  Haditono. Psikologi Perkembangan. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. 2006. Hal, 288
[2]Prof. Dr. H Jalaludin, Psikologi Agama. Jakarta: PT Grafindo Persada 2003 . Hal:54
[3] Ibid. Dr. H. Jalaludin. Hal, 55
[4] Ibid, hal:58
[5] Ibid, hal:74
[6] Ibid, Hal: 76

Prasangka Sosial

 
I.        PENDAHULUAN
Dalam kehidupan bermasyarakat tentu tidak dapat dipisahka dari interaksi social yaitu ; suatu hubungan timbale balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kellompok. Dalam hubungan tersebut tekadang terdapat kekurangpahaman antarasatu sama lain baik dari individu maupun kelompok. Sehingga muncul persepsi masing-masing yang ahirnya akan menimbulkan prasangka masing-masing.
 Berbagai teori-teori tentang prasangka telah dikemukakan oleh para ahli. Adanya prasangka antara satu sama lain pihak Sangatlah menghawatirkan, karena prasangka cenderung mengarah pada tindakan yang negatif seperti tindakan-tidakan diskriminasi  yang dilakukan oleh pihak yang  berprasangka kepada pihak yang diprasangkai tersebut. Adanya prasangka akan cenderung membawa dampak negative terhadap perkembangan kehidupan dalam masyarakat, untuk itu sangat dibutuhkan cara-cara yang efektif agar prasangka dapat diatasi. Sehingga perkembangan kemajuan dalam segenap lapisan dalam masyarakat tidak terhambat  adanya prasangka-prasangka yang ada.
 Karena pentingnya pemahaman tentang prasangka, maka dalam makalah ini penulis berusaha menyajikan  materi-materi penting tentang prasangka yang telah kami rangkum sebagai berikut.

II.      RUMUSAN MASALAH
A.      Apa itu prasangka?
B.      Bagaimanakah teori tentang prasangka?
C.      Ciri Pribadi Orang Berprasangka?
D.      Bagaimanakah Usaha untuk Mengatasi Prasangka?

III.    PEMBAHASAN
A.      Pengertian prasangka
Prasangka merupakan evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaan dimana seorang tersebut menjadi anggotanya, prasangka merupakan evaluasi negative terhadap  outgroup.[1] Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan , ras, atau kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial yang terdiri dari attitude-attitude  social yang negative terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi.
Awal mulanya prasangka hanya berupa sikap-sikap perasaan negative tetapi lambat laun akan dinyatakan dalam bentuk tindakan yang diskriminatif terhadap orang yang diprasangkai itu tanpa alasan yang objektif pada orang yang dikenai tindakan-tindakan yang diskriminatif.[2]
Prasangka sangat berkaitan dengan persepsi seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Prasangka terhadap anggota suatu kelompok ternyata sangat merusak. Sebuah contoh mengenai prasangka sosial ialah attitude orang Jermanterhadap keturunan orang-orang Yahudi di Negaranya yang sudah lama terdapat di masyarakat masyarakat Jerman. Satu contoh lagi seperti di Amerika Serikat, di sana terdapat prasangka social terhadap golongan Negro atau golongan kulit hitam terutama di Amerika bagian selatan. Dari prasangka social tersebut keduanya sama-sama melahirkan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap masing-masing pihak yang diprasangkai. Bahwasanya tindakan-tindakan diskriminatif yang berdasarkan prasangka social akan merugikan masyarakat  Negara itu sendiri, Sebab perkembangan  potensi-potensi manusia masyarakat tersebut akan sangat diperhambat.[3]
B.      Teori-teori tentang prasangka
1. Teori belajar sosial
Teori belajar sosial merupakan salah satu teori dalam belajar, teori ini dikemukakan oleh bandura yang berpendapat bahwa belajar itu terjadi melalui model atau contoh. Prasangka seperti halnya sikap, merupakan hal yang terbentuk melalui proses belajar.[4]
Attitude-attitude yang dimiliki manusia tidaklah dibawa sejak ia dilahirkan. Tetapi bermacam attitude itu dipelajari dan terbentuk pada manusia selama perkembangannya. Awalnya anak-anak kecil tidak mempunyai attude-attitude, kemudian mereka memperoehnya untuk yang pertama melalui primary group yaitu orang tua dan keluarganya. Demikian pula dengan prasangka social, Prasangka social juga tidak dibawa manusia sejak manusia dilahirkan. Prasangka social juga terbentuk selama perkembangan manusia, baik dari didikan atau pun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka.[5]
Teori belajar social memandang  prasangka sebagai sesuatu yang dipelajari dengan cara yang  sama, seperti bila orang mempelajari  nilai-nilai social yang lain; prasangka disebarluaskan dari orang yang satu ke orang yang lain  sebagai bagian dari sejumlah norma.  Prasangka merupakan norma dalam budaya atau sub budaya seseorang. Prasangka diperoleh seorang anak melalui sosialisasi. Anak mempelajari sikap berprasangka untuk dapat diterima oleh orang lain. Terakhir,  penyebar luasan dan pengungkapan prasangka  yang terus-menerus akan memperkuat peranannya sebagai norma budaya ( Ashmore & Delboca, 1980)[6]
2.       Teori Motivasional atau Decision Making Theory
Teori ini memandang prasangka sebagai sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan individu atau elompok untuk mencapai kesejahteraan (satisfy). Teori ini mencakup beberapa teori yaitu;
a.       Pendekatan psikodinamika
Teori ini menganalisis prasangka sebagai suatu usaha untuk mengatasi tekanan motivasi  yang ada dalam diri individu yang bersangkutan. Jadi teori ini menekankan pada dinamika dari pribadi individu yang bersangkutan (specific individual personality).[7]
b.      Konflik Kelompok Realitas (Realistic group conflict)
Konflik kelompok realitas. Teoeri ini menyatakan bahwa dua kelompok bersaing merebutkan kelompok yang langka, mereka akan saling mengancam, dan akhirnya menimbulkan permusuhan diantara mereka sehingga menciptakan nilai negative yang bersifat timbal balik.[8]
Konflik antar kelompok akan terjadi apabila kelompok-kelompok tersebut dalam keadaan berkompetisi. Ini menyebabkan  adanya permusuhan antara kedua kelompok tersebut yang kemudian bermuara pada adanya saling berprasangka satu dengan yang lain, saling memberikan evalauasi yang negatif. Dengan demikian, prasangka tidak dapat dihindarkan sebagai akibat adanya konflik yang nyata antara kelompok yang satu dengan yang lain.[9]
c.       Kekurangan Relatif (relative deprivation)
 Teori ini berkaitan dengan ketidakpuasan yang tidak hanya timbul dari kekurangan objektif , tetapi juga dari perasaan kurang secara subjektif yang relative lebih besar dibandingkan orang lain atau kelompok lain.[10]
Dalam konflik kelompok yang nyata, prasangka timbul sebagai respons terhadap frustasi yang riil dalam kehidupan antara kelompok satu dengan yang lain. Tetapi kadang-kadang orang mempersepsi diri sendiri atau mereka mengalami kerugian secara relatif terhadap pihak lain, walaupun dalam kenyataanya tidak demikian. Persepsi ini dapat membawa permusuhan antara kelompok yang satu dengan yang lain, dan sebagai akibatnya yaitu dapat menimbulkan prasangka. 
3.       Teori Kognitif
Dalam teori ini, proses kognitif dijadikan sebagai dasar timbulnya prasangka. Hal ini berkaitan dengan;
a.       Kategorisasi atau penggolongan
Apabila seseorang mempersepsi orang lain atau apabila suatu kelompok mempesepsi keompok lain, dan memasukkan apa yang di persepsikan itu ke dalam suatu kategori tertentu. Proses kategorisasi berdampak timbulnya prasangka antar pihak satu dengan pihak lain, keompok satu denga kelompok lain.
b.      Ingroup lawan Outgroup
Ingroup dan  outgroup ada apabila  kategorisasi “kita” dan “mereka”  telah ada, seseorang dalam suatu kelompok akan merasa dirinya sebagai ingroup dan orang lain sebagai outgroup. Dalam kategori ingroup memiliki dampak tertentu yang ditimbulkan, di antaranya yaitu;
                                                                                     1.      Similarity effect, anggota ingroup mempersepsi anggota ingroup yang lain lebih memiliki kesamaan apabila dibandingkan dengan anggota outgroup.
                                                                                     2.      Favoritism effect, karena kategorisasi ingroup dan outgroup maka berdampak munculnya anggapan bahwa ingroup lebih favorit dari pada outgroup.
                                                                                     3.      Outgroup homogenity effect, bahwa seseorang dalam ingroup memandang outgroup lebih homogendaripada ingroup, baik dalam hal kepribadian maupun hal yag lain.[11]
3.       Usaha Mengatasi Prasangka
Langkah-langkah yang bisa dilakukukan untuk mengatasi prasangka sehingga prasangka tersebut dapat berkurang atau bahkan bisa dihilangkan, caranya sebagai berikut;
1.       Dengan cara mengadakan direct intergroup contact, seperti yang dikemukakan oleh  Allport yang dikenal dengan teori kontak (contact theory). Kontak atau hubungan secara langsung secara berkesinambungan atau berkelanjutan akan mengurangi prasangka yang ada.
2.       Dengan cara mengadakan kerja sama atau cooperative interdependence, Anggota suatu kelompok yang berprasangka  terhadap kelompok lain,  diadakan kerja untuk mencapai  tujuan bersama, mereka saling bergantung satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama tersebut, dengan demikian mereka saling berinteraksi satu sama lain. Sehingga mereka tahu dengan tepat keadaan  sebenarnya satu sama lain kelompok. Sebenarnya prasangka timbulkarena kurang adanya informasi yang jelas, deengan mengetahi keadaan yang sebenarnya maka prasangka yang ada akan dapat berkurang atau bahkan sampai hilang. [12]
4.       Ciri Pribadi Orang Berprasangka
Menurut beberapa penyelidikan psikologi, terdapat beberapa ciri  pribadi orang yang mempermudah bertahannya prasangka social padanya, antara lain orang-orang yang berciri sebagai berikut;
a.        tidak toeransi
b.       kurang mengenal aka dirinnya sendiri
c.        kurang berdaya cipta
d.       merasa tidak aman
e.        memupuk khayalan-khayalan yang agresif[13]
IV.    KESIMPULAN
Dari pembahasan materi di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa prasangka mrupakan hasil evaluasi seseorang atau keompok terhadap seseorang atau kelompok. Adanya prasangka social lebih berdampak kearah negatif seperti tindakan-tindakan diskriminasi y ang jelas-jelas merugikan salah satu pihak. Ada beberapa teori tentang prasangka yang telah dikemukakan, diantaranya yaitu;
1.       Teori belajar social
2.       Teori Motivasional atau Decision Making Theory
3.       Teori Kognitif
Untuk megatasi adanya prasangka maka usaha yang bias digunakan ada dua cara sehingga prasangka bias  berkurang bahkan menghilangkan prasangka sosial, caranya yaitu; Dengan cara mengadakan direct intergroup contact dan mengadakan cooperative interdependence
Adapun ciri-ciri pribadi berprasangka atau mempertahankan prasangka dalam dirinya, di antaranya yaitu; tidak toeransi, kurang mengenal aka dirinnya sendiri, kurang berdaya cipta, merasa tidak aman, memupuk khayalan-khayalan yang agresif[14]

V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun. Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca sekalian. Kami sadar bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah kami, baik dari penulisan maupun materi yang kami sampaikan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sekalian sangat kami harapkan guna perbaikan makalah kami selanjutnya. 




[1] Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta, Cv. Andi Ofset, 2003), Hal. 95
[2] W.A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung, Refika Aditama, 2002), Hal. 166
[3] Ibid, Hal. 168
[4] Bimo Walgito,Op. Cit, Hal. 96
                [5]DR. W.A. Gerungan, Op. Cit, Hal. 173
[6] David O. Sears. Dkk, Psikologi Sosial, (Jakarta, Erlangga, 1994), Hal. 158
[7]Bimo Walgito, Op. Cit, Hal. 98 
[8] David. O. Sears, Op, Cit. Hal. 155
[9] Bimo walgito, Op. Cit, Hal.
[10] David. O. Sears, Op. Cit, Hal. 156
[11] Bimo Walgito, Op. Cit,  Hal. 100
[12] Bimo Walgito, Op. Cit, Hal. 98
[13] DR. W.A. Gerungan, Op. Cit, Hal. 176
[14] DR. W.A. Gerungan, Op. Cit, Hal. 176